Malam kemarin saya kembali membuka buku
Psikologi Kepribadian yang mulai berdebu dalam lemari. Halaman demi halaman
yang kubuka hanya tertulis nama-nama orang bule. Sigmund Freud, Carl Jung, Skinner,
Fiktor Frankl, Ivan Pavlov dan sebagainya. Pikiranku kemudian menerawang bahwa
mau tidak mau teori-teori mereka inilah yang akan saya pelajari. Bahkan saya
rasa, hasil “ijtihad” bule-bule ini secara tidak langsung mulai menggerogoti
pikiran hingga tak sadar pemikiran mereka sudah mengubah nilai-nilai yang saya
anut selama ini. Jangan salah su’udzon dulu, bung. Saya belum kafir. Saya
juga masih tidak sependapat dengan Nietzsche bahwa Tuhan telah mati. Justru sebaliknya,
saya kira teori-teori merekalah yang justru “mematikan” Tuhan.
Mematikan Tuhan inilah yang mungkin dianut
oleh beberapa ahli psikologi dan ilmuwan di bidang ilmu pengetahuan lain. Dalam
tulisannya Yadi Purwanto pernah menyebutkan bahwa memang ketika kita berbicara
tentang kepribadian manusia ada hal-hal yang tidak bisa dicapai oleh akal
pikiran manusia. Sehingga melibatkan “alam gaib” yaitu wahyu Tuhan harus
dilakukan. Namun terkadang beberapa orang takut jika melakuka hal itu disebut
sebagai tidak ilmiah. Akhirnya mereka lebih suka disebut “tidak beriman”
daripada “tidak ilmiah”.
Berkiblat pada dunia barat (yang notabene
bebas nilai) ini, yang menjadikan beberapa orang ilmiah tapi belum tentu
beriman. Misalnya dalam DSM (diagnostic statistical of mental disorder)
yang menjadi buku wajib bagi psikolog klinis. Jika Anda mencari gay dan
lesbian, maka Anda tidak akan mendapatkan itu lagi. Dalam DSM gay dan lesbian
sudah tidak termasuk gangguan kepribadian. Artinya gay dan lesbian ini sudah
bukan penyakit alias normal alias wajar-wajar saja. Apakah ini tidak ilmiah?
Saya rasa sangat ilmiah. Berhubung orang-orang yang menyusun buku ini adalah
profesor-profesor di bidangnya. Apakah mereka tidak beriman? Saya tidak berani
mengatakan ya atau tidak. Bisa saja mereka sangat beriman sesuai dengan keyakinan
yang mereka anut.
Saya pernah berdiskusi dengan seseorang yang
sangat mengutamakan konsep ilmiah ini. Dia berpedoman pada pendapat Jung
tentang persona. Dia menggambarkan manusia itu ibarat orang yang sedang
bermain peran dalam pentas drama. Ketika berperan sebagai si A, maka dia harus
menjadi A. Begitu pula ketika menjadi B, maka seluruh tingkah laku perbuatannya
harus menjadi si B. Misalnya seorang anak yang berhadapan dengan orangtua, maka
harus bersikap manis. Ketika berhadapan dengan musuh maka haruslah garang. Saya
katakan itu munafik. Bukan berarti bahwa saya sudah sangat beriman. Namun,
dengan asumsi bahwa anak yang bersikap manis dihadapan orangtua bukan karena
dia menyembunyikan sifat aslinya dengan topeng (persona), tapi itu yang
harus dilakukan oleh anak kepada orangtua yaitu bersikap sopan santun dan itu
yang diajarkan kepada saya (entah bagaimana dengan Anda). Begitu pula ketika
berhadapan dengan musuh. Kita memang harus terlihat garang. Bukan berarti bahwa
kita menggunakan “topeng” garang, tapi karena memang kita harus terlihat kuat
dihadapan mereka. Sungguh ironis memang ketika kita harus memiliki banyak
topeng untuk menutupi “wajah” asli kita. Atau memang ketika “wajah” ini
terlihat sebagaimana mestinya ternyata kita benar-benar sebagai apa yang
dikatakan Darwin, yaitu keturunan ape (sebangsa monyet). Saya yakin
tidak ada yang mau disebut bahwa kita berasal dari keturunan monyet.
Saya berikan contoh lain. Seseorang yang
mengalami gangguan menurut Freud berasal dari konflik masa lalunya. Namun,
menurut para agamawan itu karena mereka jauh dari Tuhan. Sehingga cara
penyembuhannya pun berbeda-beda. Mungkin Freud beranggapan bahwa caranya adalah
katarsis (pengimpasan ketegangan dengan pelampiasan perasaan ke orang lain). Sedangkan
menurut agamawan bahwa banyak-banyak mengingat Tuhan adalah cara terbaik. Cara
yang dikemukakan Freud menurut beberapa orang sangalah ilmiah, sedangkan cara
mengingat Tuhan adalah cara yang sangat religius.
Lantas, apakah memang konsep ilmiah dan
beriman ini tidak bisa menyatu?
Kesimpulannya adalah bahwa saat ini saya mulai
setuju dengan pernyataan Nietzsche diatas, Tuhan telah mati. Jangan disalah
artikan dulu. Karena memang dalam segala hal (terutama ilmu pengetahuan)
terkadang Tuhan “dilarang” mengintervensi. Sehingga fungsi Tuhan pun tak ada,
selain menciptakan dan mematikan. Wajarlah kalau penulis buku Sabda Zarathusta
ini menganggap Tuhan telah mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar