Selasa, 26 Juni 2012

Beriman atau Berilmu

Malam kemarin saya kembali membuka buku Psikologi Kepribadian yang mulai berdebu dalam lemari. Halaman demi halaman yang kubuka hanya tertulis nama-nama orang bule. Sigmund Freud, Carl Jung, Skinner, Fiktor Frankl, Ivan Pavlov dan sebagainya. Pikiranku kemudian menerawang bahwa mau tidak mau teori-teori mereka inilah yang akan saya pelajari. Bahkan saya rasa, hasil “ijtihad” bule-bule ini secara tidak langsung mulai menggerogoti pikiran hingga tak sadar pemikiran mereka sudah mengubah nilai-nilai yang saya anut selama ini. Jangan salah su’udzon dulu, bung. Saya belum kafir. Saya juga masih tidak sependapat dengan Nietzsche bahwa Tuhan telah mati. Justru sebaliknya, saya kira teori-teori merekalah yang justru “mematikan” Tuhan.
Mematikan Tuhan inilah yang mungkin dianut oleh beberapa ahli psikologi dan ilmuwan di bidang ilmu pengetahuan lain. Dalam tulisannya Yadi Purwanto pernah menyebutkan bahwa memang ketika kita berbicara tentang kepribadian manusia ada hal-hal yang tidak bisa dicapai oleh akal pikiran manusia. Sehingga melibatkan “alam gaib” yaitu wahyu Tuhan harus dilakukan. Namun terkadang beberapa orang takut jika melakuka hal itu disebut sebagai tidak ilmiah. Akhirnya mereka lebih suka disebut “tidak beriman” daripada “tidak ilmiah”.
Berkiblat pada dunia barat (yang notabene bebas nilai) ini, yang menjadikan beberapa orang ilmiah tapi belum tentu beriman. Misalnya dalam DSM (diagnostic statistical of mental disorder) yang menjadi buku wajib bagi psikolog klinis. Jika Anda mencari gay dan lesbian, maka Anda tidak akan mendapatkan itu lagi. Dalam DSM gay dan lesbian sudah tidak termasuk gangguan kepribadian. Artinya gay dan lesbian ini sudah bukan penyakit alias normal alias wajar-wajar saja. Apakah ini tidak ilmiah? Saya rasa sangat ilmiah. Berhubung orang-orang yang menyusun buku ini adalah profesor-profesor di bidangnya. Apakah mereka tidak beriman? Saya tidak berani mengatakan ya atau tidak. Bisa saja mereka sangat beriman sesuai dengan keyakinan yang mereka anut.

Saya pernah berdiskusi dengan seseorang yang sangat mengutamakan konsep ilmiah ini. Dia berpedoman pada pendapat Jung tentang persona. Dia menggambarkan manusia itu ibarat orang yang sedang bermain peran dalam pentas drama. Ketika berperan sebagai si A, maka dia harus menjadi A. Begitu pula ketika menjadi B, maka seluruh tingkah laku perbuatannya harus menjadi si B. Misalnya seorang anak yang berhadapan dengan orangtua, maka harus bersikap manis. Ketika berhadapan dengan musuh maka haruslah garang. Saya katakan itu munafik. Bukan berarti bahwa saya sudah sangat beriman. Namun, dengan asumsi bahwa anak yang bersikap manis dihadapan orangtua bukan karena dia menyembunyikan sifat aslinya dengan topeng (persona), tapi itu yang harus dilakukan oleh anak kepada orangtua yaitu bersikap sopan santun dan itu yang diajarkan kepada saya (entah bagaimana dengan Anda). Begitu pula ketika berhadapan dengan musuh. Kita memang harus terlihat garang. Bukan berarti bahwa kita menggunakan “topeng” garang, tapi karena memang kita harus terlihat kuat dihadapan mereka. Sungguh ironis memang ketika kita harus memiliki banyak topeng untuk menutupi “wajah” asli kita. Atau memang ketika “wajah” ini terlihat sebagaimana mestinya ternyata kita benar-benar sebagai apa yang dikatakan Darwin, yaitu keturunan ape (sebangsa monyet). Saya yakin tidak ada yang mau disebut bahwa kita berasal dari keturunan monyet.
Saya berikan contoh lain. Seseorang yang mengalami gangguan menurut Freud berasal dari konflik masa lalunya. Namun, menurut para agamawan itu karena mereka jauh dari Tuhan. Sehingga cara penyembuhannya pun berbeda-beda. Mungkin Freud beranggapan bahwa caranya adalah katarsis (pengimpasan ketegangan dengan pelampiasan perasaan ke orang lain). Sedangkan menurut agamawan bahwa banyak-banyak mengingat Tuhan adalah cara terbaik. Cara yang dikemukakan Freud menurut beberapa orang sangalah ilmiah, sedangkan cara mengingat Tuhan adalah cara yang sangat religius.
Lantas, apakah memang konsep ilmiah dan beriman ini tidak bisa menyatu?
Kesimpulannya adalah bahwa saat ini saya mulai setuju dengan pernyataan Nietzsche diatas, Tuhan telah mati. Jangan disalah artikan dulu. Karena memang dalam segala hal (terutama ilmu pengetahuan) terkadang Tuhan “dilarang” mengintervensi. Sehingga fungsi Tuhan pun tak ada, selain menciptakan dan mematikan. Wajarlah kalau penulis buku Sabda Zarathusta ini menganggap Tuhan telah mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar