A. Pengertian Manusia sebagai Makhluk yang Berperadaban
Berbicara tentang peradaban manuia sangat
menarik sebab sudah menjadi bagian dari manusia yang tak bisa terpisahkan. Peradaban
berasal dari kata adab yang berarti berakhlak atau kesopanan dan
kehalusan budi pekerti. Kebudayaan bisa juga diartikan sebagai tamaddun atau
civilization. Prof. Mudjia Rahardjo memberikan pengertian tentang
peradaban yaitu “bila disepdankan dengan civilization maka peradaban
hanya sebatas benda buatan manusia (cultural materials). Namun, jika
disepadankan tamaddun maka tidak hanya sebatas benda buatan manusia,
namun juga berbagai gagasan cemerlang, pola perilaku luhur dan bermatabat
(Mudjia Rahardjo).” Tamaddun sendiri terdiri dari dua komponen yaitu madaniyah
yang merupakan aspek materi dari tamaddun dan kebudayaan (tsaqaafah)
yang merupakan aspek intelektual dan spiritual dari tamaddun.
Koentjaraningrat memberikan pengertian tentang
peradaban, yaitu bagian-bagian kebudayaan yang halus dan indah seperti kesenian.
Serupa dengan pendapat dengan Koentjaraningrat, Pidarta (dalam Taum,1997)
mengungkapkan bahwa peradaban itu
adalah kebudayaan yang sudah lebih maju.
Dari beberapa pengertian diatas bisa
disimpulkan bahwa peradaban ialah keseluruhan kompleksitas produk pikiran
kelompok manusia yang mengatasi negara, ras, suku atau agama yang membedakannya
dari yang lain. Manusia yang tidak memiliki peradaban adalah manusia yang
biadab. Sebab ketika berbicara peradaban jelas bagi kita membicarakan tentang
nilai.
Peradaban sesungguhnya adalah perwujudan
subyek martabat kepribadian manusia yang unggul, agung dan mulia sebagai
makhluk mulia yang diciptakan (Allah) Maha Pencipta. Manusia sebagai makhluk
unggul agung dan mulia secara kodrati menjangkau nilai-nilai alamiah (natural),
budaya (cultural, peradaban/civilization) termasuk iptek dan
filsafat yang berpucak dengan penghayatan dan pengamalan nilai agama dan
Ketuhanan.
Cohen (dalam Taum) menyebutkan peradaban
adalah jaringan kebudayaan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa kebudayaan dapat
dibuat dengan cara hubungan saling ketergantungan antar etnis. Saling
ketergantungan ini bisa berupa kegiatan atau hubungan kekuatan (power
relationship) yang semakin erat. Hubungan
kekuatan dalam
bentuk saling ketergantungan akan meningkatkan
adaptasi antar etnis, dan dapat
menimbulkan peradaban baru. Peradaban itu adalah
kebudayaan yang sudah lebih maju (Pidarta dalam Taum).
Bila kebudayaan diartikan cara hidup yang dikembangkan oleh anggota-anggota
masyarakat, ini berarti kerjasama adalah suatu kebudayaan.
B. Konsep Filsafat Mengenai Peradaban Manusia
Filsafat
berasal dari kata philos yang artinya cinta dan shopie kebijaksanaan.
Berfilsafat adalah berpikir radikal, radix artinya akar, sehingga berpikir
radikal artinya sampai ke akar suatu masalah, mendalam sampai ke akar-akarnya,
bahkan melewati batas-batas fisik yang ada, memasuki medan pengembaraan diluar
sesuatu yang fisik (Asyarie dalam Anshori). Berfilsafat adalah berpikir dalam
tahap makna, ia mencari hakikat makna dari sesuatu, Berpikir dalam tahap makna
artinya menemukan makna terdalam dari sesuatu yang berada dalam kandungan
sesuatu itu . Dalam filsafat, seseorang mencari dan menernukan jawaban dan
bukan hanya dengan memperlihatkan penampakan (appearance) semata,
melainkan menelusurinya jauh dibalik penampakan itu dengan maksud menentukan
sesuatu yang disebut nilai dari sebuah realitas (Anshori, 2006).
Berfikir adalah
bertanya, bertanya adalah mencari jawaban,
mencari jawaban
adalah mencari kebenaran, mencari jawaban tentang alam dan
Tuhan adalah
mencari kebenaran tentang alam dan Tuhan. Dari proses tersebut lahirlah
pengetahuan, teknologi, kepercayaan atau mungkin agama. Proses berfikir inilah yang meyakinkan kita bahwa manusia merupakan
makhluk yang memiliki peradaban. Jika kita tarik benang
merah antara filsafat dan kebudayaan maka akan diperoleh bahwa filsafat
memandang cara hidup atau pandangan hidup yang mengendalikan sebuah kebudyaan.
Dibalik budaya akan selalu ditemukan filsafat.
John
Gillin dalam Agus P
(2000:51) menyampaikan perkembangan kepribadian manusia sebagai berikut:
·
Kebudayaan
memberikan kondisi yang disadari dan yang tidak disadari untuk belajar.
· Kebudayaan
mendorong secara sadar ataupun tidak sadar akan reaksi-reaksi kelakuan tertentu. Jadi kebudayaan merupakan
perangsang terbentuknya kelakuan-kelakuan tertentu. Kebudayaan
mempunyai sistem “reward and punishment” terhadap kelakuan-kelakuan tertentu. Kebudayaan
cenderung mengulang bentuk-bentuk kelakuan tertentu melalui proses belajar. Pola
kehidupan yang dianut pada suatu masyarakat lama kelamaan akan mengendap, mengakar dan mendarah daging hingga
akhirnya membudaya menjadi sebuah tatanan yang dianut
dan disepakati serta dijunjung oleh masyarakat tersebut.
Dalam
filsafat terdapat istilah kebebasan eksistensial. Kebebasan eksistensial merupakan
kebebasan manusia yang menyangkut masa depan. Masa depan ini yang kemudian
menuntun manusia untuk menentukan dirinya dan mewujudkannya sebagai budaya. Budaya
(culture) merupakan simbol keistimewaan manusia sebagai makhluk yang
bebas. Budaya yang lebih tinggi termanifestasi menjadi peradaban (Anshori, 2006).
Artinya, eksistensi ini ada ketika manusia sebagai subjek di dunia mampu
menciptakan budaya dan peradabannya sendiri. Dengan kata lain manusia yang
tidak berbudaya dan tidak beradab telah kehilangan eksistensinya sebagai
makhluk yang bebas.
Lantas mengapa
manusia dikatakan bebas padahal terikat oleh budaya dan adab? Bebas disini
diartikan sebagai bebas dalam tidakan manusiawi (actus humanusy) bukan
tindakan manusia (actus hominisi). Tidakan manusia misalnya berjalan,
minum, makan, membunuh, memperkosa dan sebagainya. Tindakan tersebut bukanlah
eksistensi kebebasan manusia. Manusia yang beradab adalah manusia yang bertidak
secara manusiawi (actus humanusy) yaitu perbuatan yang sesuai kodrat dan
fitrah manusia sesuai dngan petunjuk dari yang menciptakan.
Menurut
Huijber (dalam Anshori) bahwa manusia inisiatif merupakan unsur dari kebebasan
manusia. Selanjutnya ia menambahkan bahwa manusia bersifat bebas karena
memiliki akal budi yang bersifat universal. Dari kebebasan eksistensial ini
dapat disimpulkan bahwa kebebasan eksistensial ini digunakan untuk mencapai
tujuan hidup dan cita-citanya. Istilah Fiktor Frankl adalah mencapai
aktualisasi diri. Namun, tujuan ini tidak harus baik, artinya bisa bersifat
jahat. Nietzche menyatakan bahwa orang yang bebas adalah orang yang mampu
mencapai tujuan hidupnya dengan tanpa menghalangi kebebasan orang lain
(Anshori, 2006). Inilah yang dalam filsafat bahwa manusia sebagai makhluk yang
beradab dan memiliki peradaban.
C. Konsep Islam Mengenai Peradaban Manusia
Islam diwahyukan kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah membawa bangsa arab yang semula terkebelakang,
bodoh, tidak terkenal, dan di abaikan oleh bangsa- bangsa lain menjadi banngsa yang maju. Bangsa arab dengan cepat bergerak
mengembangkan dunia, membina suatu kebudayaan dan peradaban yang sangat penting artinya dalam sejarah
manusia hingga sekarang. Bahkan kemajuan wilayah barat bersumber dari peradaban Islam yang masuk ke Eropa melalui Spayol.
Gambaran Islam sebagai sebuah peradaban secara
objektif terdiri dari aspek kebudayan materi (madaniyah) dan
kebudayaan inmateri (tsaqafah). Peradaban
Islam yang dibangun oleh kebudayan materi (madanyiah) yaitu
hasil karya fisik yang disyariatkan maupun yang bersifat mubah, yaitu produk
ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun kebudayaan inmateri (tsaqafah) yaitu
berupa pemikiran yang berfondasikan aqidah dan syariah Islam yaitu
aturan beribadah dengan sang pencipta, aturan pergaulan, ilmu ekonomi,
pendidikan, aturan pemerintahan, kemiliteran, aturan hukum, hingga aturan berhubungan
dengan luar negeri.
Peradaban menurut Islam adalah kesopanan,
akhlak, tata krama dan sastra yang diatur dalam syariat Islam (Glasse dalam
Sanaky). Al-Hujwiri menegaskan peradaban Islam adalah suatu pelajaran dan
pendidikan tentang kebijakan yang merupakan bagian dari sendi-sendi keimanan. Al-Rozi
(dalam Sanaky) menekankan peradaban Islam pada hubungan sosial. Hubungan sosial
ini bagaiman kita bisa menjaga kehormatan dari dan menuruti sunnah Nabi. Secara
umum peradan Islam diartikan sebagai bagian dari kebudayaan yang bertujuan
untuk memudahkan dan mensejahterakan hidup di dunia dan akhirat.
Sebagaimana telah diinformasikan al-Qur’an
dalam surah al-Hujurat ayat 13 “Wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, kemudian Kami jadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal”
memberikan kita pemahaman bahwa manusia berasal dari keturunan yang sama, yaitu
Adam. Kemudian terpencar-pencar menjadi bersuku-suku dan berbangsa-bangsa
dengan budaya yang beragam. Sehingga menghasilkan kehidupan yang indah
(Mustofa).
Kehidupan yang indah itu menghasilkan
peradaban yang indah pula. Sesungguhnya, kehidupan yang indah itu Allah berikan
untuk manusia yang berperadaban. Sebagaimana firman Allah dalam surah
al-Baqarah ayat 29 yang artinya “Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang
ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya
tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahuai segala sesuatu.”
Pada ayat diatas disebutkan Allah memberikan
fasilitas (yaitu bumi) untuk kehidupan manusia. Pembahasan sebelumnya
dijelaskan bahwa peradaban bisa dibuat dengan cara saling ketergantungan antar entnis.
Dalam Islam hubungan saling ketergantungan ini adalah perilaku tolong menolong
dalam hal kebaikan. Allah berfirman “saling tolong menolonglah kamu dalam
kebaikan dan janganlah kamu tolong menolong dalam keburukan.”
Tolong menolong merupakan ciri khas dari
peradaban Islam. Rasulullah benar-benar mengaplikasikannya dalam keseharian. Islam
menjadi teladan yang baik dicontohkan Rasulullah. Sebagai contoh, saat
Rasulullah menyuapi wanita tua kafir yang buta nan miskin. Beliau tidak
memandang latar belakang wanita tersebut. Lantas bagaimana dengan masyarakat
yang melakukan kekerasan atas nama Islam. Hal ini melahirkan
wacana yang paradoksal artinya bahwa Islam tidak hanya bersifat rahmatan lil
‘alamin, tetapi juga bencana karena melahirkan fenomena-fenomena kekerasan.
Agama tidak pernah “mengizinkan” hal tersebut, hanya penganutnya lah yang
justru membuat agama menjadi sadistis. Tentu, pernyataan ini justru merupakan
apologi yang mengatakan agama tak bersalah, ummatnyalah yang menyalahgunakan
agama itu sendiri untuk kepentingan pribadi/kelompok.
Apakah konsep
peradaban dalam Islam hanya sebatas tolong menolong? Tidak. Sebagaimana
dijelskan diatas, tolong menolong adalah salah satu dari komponen inmateri (tsaqafah).
Komponen lain berupa materi (madaniyah) yaitu berupa produk ilmu
pengetahuan. Misalnya Tsabit bin Qarah yang telah menemukan teori gravitasi
jauh sebelum Newton. Selain itu ada Ibnu
Sina yang merupakan bapak kedokteran Islam. Ahmad al-Farghani dalam bidang
astronomi, Jabir Ibnu Hayyan bidang Kimia, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun dan masih
banyak lagi ilmuwan-ilmuwan besar Islam lainnya.
Unsur-unsur tindakan manusia, sebagaimana dapat disimpulkan dari
sejarah umat dan ayat-ayat al-Qur’an, terdiri dari: kehendak
bebas, kemampuan, dan pengetahuan. Tanpa kehendak bebas manusia tak dapat
berbuat apa-apa, apalagi dalam fungsinya sebagai khalifah. Oleh sebab itu, unsur ini
juga membedakan manusia dari makhluk lain. Malaikat tidak diangkat sebagai khalifah karena
patuh sepenuhnya kepada perintah kepada Allah, dan tidak memiliki kehendak bebas. Namun
kehendak bebas manusia bersifat terbatas. Seseorang, misalnya, tidak sanggup memilih ibu
dan atau bapak yang akan melahirkannya. Kebebasan manusia dibatasi oleh kemampuan dan
kodratnya, baik sebagai individu atau sebagai masyarakat.
D. Membangun Peradaban Manusia Berdasarkan Nilai-Nilai Ke-Islam-an
Peradaban erat kaitannya dengan kebudayaan. Kebudayaan
merupakan hasil cipta, karsa dan rasa manusia. Dalam Islam, peradaban
yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW adalah peradaban yang dibangun di
atas pijakan pandangan dunia agama bukan materi. Islam lebih mengedepankan
nilai-nilai rohani dan
kemanusiaan. Materi termasuk didalamnya teknologi
bukan tujuan utama tetapi hanya aksidental. Keberhasilan menurut Islam tidak diukur dengan perolehan materi yang
banyak tetapi diukur dengan pendekatan diri kepada Allah dan memperbanyak bekal
untuk hari akhir. Materi sebagai
materi tidak mempunyai nilai apapun di mata Islam. Materi akan berarti jika
dimaknai dengan
tujuan-tujuan akhirat.
Nabi Muhammad
Saw. dengan peradaban yang berdasarkan nilai-nilai agama dan kemanusiaan
berhasil mengalahkan dua kekuatan yang kuat yaitu Persia dan
Romawi yang membangun peradaban dengan kekuatan materi. Meskipun pada
perkembangan berikutnya para pemimpin Islam, khususnya khilafah Abbasiyyah,
lebih fokus pada pembangunan materi bukan pengembangan
nilai-nilai agama dan kemanusiaan.
Dalam bukunya, Agus Mustofa menyatakan bahwa Islam
menyodorkan peradaban yang disebut peradan “hati nurani” (Mustofa). Peradaban
tersebut dibangun atas dasar empati kepada orang lain tanpa melihat latar
belakangnya. Peradaban yang dibangun atas dasar tolong menolong manusia lain
agar lepas dari penderitaannya. Lebih jauh lagi bahwa manusia yang memiliki
peradaban “hati nurani” adalah manusia yang bertaqwa.
Kapasitas taqwa disini tidak ada yang tahu karena
bersifat abstrak. Namun, Allah memberikan gambaran tentang manusia yang
bertakwa disini.
“Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan
keji atau menganiaya diri mereka sendiri, mereka akan ingat Allah, lalu memohon
ampun atas dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain
daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang
mereka mengetahui.” (QS Ali Imran:135)
Manusia memiliki kemampuan untuk terus berkembang. Hal
ini dibuktikan dari fakta empiris bahwa semakin banyak penemuan-penemuan yang
diciptakan manusia. Kecenderugan untuk terus berkembang tersebut membuktikan
manusia terus menuju peradaban yang paling sempurna. Hal ini sesuai dengan
pandangan filsafat humanisme yang membagi dirinya menjadi dua arah, yaitu humanisme
individu dan humanisme sosial. Humanisme individu mengutamakan kemerdekaan
berpikir, mengemukakan pendapat, dan berbagai aktivitas yang kreatif. Kemampuan
ini disalurkan melalui kesenian, kesusastraan, musik, teknologi, dan penguasaan
tentang ilmu kealaman. Humanisme sosial mengutamakan pendidikan bagi masyarakat
keseluruhan untuk kesejahteraan sosial dan perbaikan hubungan antarmanusia.
Sedangkan dalam Islam sendiri, kemampuan manusia tersebut
karena manusia diberi potensi oleh Allah. Firman Allah:
و لقد كـرّمنا آدم و حملنــاهم فى البرِّ و البحر و رزقناهم
من الطّيّبــاتِ و فضَّلناهم على كثييرٍ ممَّنْ خلقنـا تفضيلُا
“Dan sesungguhnya telah Kami
muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri
mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka kelebihan yang sempurna
atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra:70)
Sebagaimana dalam filsafat, untuk mencapai tingkat
aktualisasi diri yakni sebagai makhluk yang berperadaban, Islam juga
mengharuskan umatnya berfikir. Perbedaannya dengan cara berfikir dalam filsafat
adalah bahwa dalam Islam intervensi Tuhan sangatlah penting. Berfikir dengan
menggunakan aqli tanpa mengesampingkan dalil naqli.
Banyak
umat Islam yang menganggap Islam adalah sebuah doktrin keagamaan, sehingga
memisahkan al-Qur’an (kitab pegangan umat Islam) dengan ilmu pengetahuan.
Padahal ilmu pengetahuan bersifat relatif, berbeda dengan al-Qur’an yang
bersifat kebenaran mutlak. Untuk mencapai tingkat pemikiran yang beriman dan
ilmiah, seseorang haruslah menjadikan al-Qur’an sebagai pegangan. Bila ditinjau
lagi, Harun Yahya adalah ilmuwan yang sukses meruntuhkan teori evolusi Darwin.
Teori Harun Yahya ini berdasarkan fakta di al-Qur’an dan penelitian empiris. Sehingga
untuk mencapai peradaban Islami, umat Islam seharusnya menjadikan al-Qur’an
sebagai rujukan dalam berfikir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar