Selasa, 26 Juni 2012

Membangun Peradaban: Telaah Teoritis Berdasarkan Filsafat dan Islam Mengenai Manusia

A.    Pengertian Manusia sebagai Makhluk yang Berperadaban
Berbicara tentang peradaban manuia sangat menarik sebab sudah menjadi bagian dari manusia yang tak bisa terpisahkan. Peradaban berasal dari kata adab yang berarti berakhlak atau kesopanan dan kehalusan budi pekerti. Kebudayaan bisa juga diartikan sebagai tamaddun atau civilization. Prof. Mudjia Rahardjo memberikan pengertian tentang peradaban yaitu “bila disepdankan dengan civilization maka peradaban hanya sebatas benda buatan manusia (cultural materials). Namun, jika disepadankan tamaddun maka tidak hanya sebatas benda buatan manusia, namun juga berbagai gagasan cemerlang, pola perilaku luhur dan bermatabat (Mudjia Rahardjo).” Tamaddun sendiri terdiri dari dua komponen yaitu madaniyah yang merupakan aspek materi dari tamaddun dan kebudayaan (tsaqaafah) yang merupakan aspek intelektual dan spiritual dari tamaddun.
Koentjaraningrat memberikan pengertian tentang peradaban, yaitu bagian-bagian kebudayaan yang halus dan indah seperti kesenian. Serupa dengan pendapat dengan Koentjaraningrat, Pidarta (dalam Taum,1997) mengungkapkan bahwa peradaban itu adalah kebudayaan yang sudah lebih maju.
Dari beberapa pengertian diatas bisa disimpulkan bahwa peradaban ialah keseluruhan kompleksitas produk pikiran kelompok manusia yang mengatasi negara, ras, suku atau agama yang membedakannya dari yang lain. Manusia yang tidak memiliki peradaban adalah manusia yang biadab. Sebab ketika berbicara peradaban jelas bagi kita membicarakan tentang nilai.
Peradaban sesungguhnya adalah perwujudan subyek martabat kepribadian manusia yang unggul, agung dan mulia sebagai makhluk mulia yang diciptakan (Allah) Maha Pencipta. Manusia sebagai makhluk unggul agung dan mulia secara kodrati menjangkau nilai-nilai alamiah (natural), budaya (cultural, peradaban/civilization) termasuk iptek dan filsafat yang berpucak dengan penghayatan dan pengamalan nilai agama dan Ketuhanan.
Cohen (dalam Taum) menyebutkan peradaban adalah jaringan kebudayaan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa kebudayaan dapat dibuat dengan cara hubungan saling ketergantungan antar etnis. Saling ketergantungan ini bisa berupa kegiatan atau hubungan kekuatan (power relationship) yang semakin erat. Hubungan kekuatan dalam bentuk saling ketergantungan akan meningkatkan adaptasi antar etnis, dan dapat menimbulkan peradaban baru. Peradaban itu adalah kebudayaan yang sudah lebih maju (Pidarta dalam Taum). Bila kebudayaan diartikan cara hidup yang dikembangkan oleh anggota-anggota masyarakat, ini berarti kerjasama adalah suatu kebudayaan.

B.     Konsep Filsafat Mengenai Peradaban Manusia
Filsafat berasal dari kata philos yang artinya cinta dan shopie kebijaksanaan. Berfilsafat adalah berpikir radikal, radix artinya akar, sehingga berpikir radikal artinya sampai ke akar suatu masalah, mendalam sampai ke akar-akarnya, bahkan melewati batas-batas fisik yang ada, memasuki medan pengembaraan diluar sesuatu yang fisik (Asyarie dalam Anshori). Berfilsafat adalah berpikir dalam tahap makna, ia mencari hakikat makna dari sesuatu, Berpikir dalam tahap makna artinya menemukan makna terdalam dari sesuatu yang berada dalam kandungan sesuatu itu . Dalam filsafat, seseorang mencari dan menernukan jawaban dan bukan hanya dengan memperlihatkan penampakan (appearance) semata, melainkan menelusurinya jauh dibalik penampakan itu dengan maksud menentukan sesuatu yang disebut nilai dari sebuah realitas (Anshori, 2006).
Berfikir adalah bertanya, bertanya adalah mencari jawaban, mencari jawaban adalah mencari kebenaran, mencari jawaban tentang alam dan Tuhan adalah mencari kebenaran tentang alam dan Tuhan. Dari proses tersebut lahirlah pengetahuan, teknologi, kepercayaan atau mungkin agama. Proses berfikir inilah yang meyakinkan kita bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki peradaban. Jika kita tarik benang merah antara filsafat dan kebudayaan maka akan diperoleh bahwa filsafat memandang cara hidup atau pandangan hidup yang mengendalikan sebuah kebudyaan. Dibalik budaya akan selalu ditemukan filsafat.
John Gillin dalam Agus P (2000:51) menyampaikan perkembangan kepribadian manusia sebagai berikut:
·         Kebudayaan memberikan kondisi yang disadari dan yang tidak disadari untuk belajar.
·   Kebudayaan mendorong secara sadar ataupun tidak sadar akan reaksi-reaksi kelakuan tertentu. Jadi kebudayaan merupakan perangsang terbentuknya kelakuan-kelakuan tertentu. Kebudayaan mempunyai sistem “reward and punishment” terhadap kelakuan-kelakuan tertentu. Kebudayaan cenderung mengulang bentuk-bentuk kelakuan tertentu melalui proses belajar. Pola kehidupan yang dianut pada suatu masyarakat lama kelamaan akan mengendap, mengakar dan mendarah daging hingga akhirnya membudaya menjadi sebuah tatanan yang dianut dan disepakati serta dijunjung oleh masyarakat tersebut.
Dalam filsafat terdapat istilah kebebasan eksistensial. Kebebasan eksistensial merupakan kebebasan manusia yang menyangkut masa depan. Masa depan ini yang kemudian menuntun manusia untuk menentukan dirinya dan mewujudkannya sebagai budaya. Budaya (culture) merupakan simbol keistimewaan manusia sebagai makhluk yang bebas. Budaya yang lebih tinggi termanifestasi menjadi peradaban (Anshori, 2006). Artinya, eksistensi ini ada ketika manusia sebagai subjek di dunia mampu menciptakan budaya dan peradabannya sendiri. Dengan kata lain manusia yang tidak berbudaya dan tidak beradab telah kehilangan eksistensinya sebagai makhluk yang bebas.
Lantas mengapa manusia dikatakan bebas padahal terikat oleh budaya dan adab? Bebas disini diartikan sebagai bebas dalam tidakan manusiawi (actus humanusy) bukan tindakan manusia (actus hominisi). Tidakan manusia misalnya berjalan, minum, makan, membunuh, memperkosa dan sebagainya. Tindakan tersebut bukanlah eksistensi kebebasan manusia. Manusia yang beradab adalah manusia yang bertidak secara manusiawi (actus humanusy) yaitu perbuatan yang sesuai kodrat dan fitrah manusia sesuai dngan petunjuk dari yang menciptakan.
Menurut Huijber (dalam Anshori) bahwa manusia inisiatif merupakan unsur dari kebebasan manusia. Selanjutnya ia menambahkan bahwa manusia bersifat bebas karena memiliki akal budi yang bersifat universal. Dari kebebasan eksistensial ini dapat disimpulkan bahwa kebebasan eksistensial ini digunakan untuk mencapai tujuan hidup dan cita-citanya. Istilah Fiktor Frankl adalah mencapai aktualisasi diri. Namun, tujuan ini tidak harus baik, artinya bisa bersifat jahat. Nietzche menyatakan bahwa orang yang bebas adalah orang yang mampu mencapai tujuan hidupnya dengan tanpa menghalangi kebebasan orang lain (Anshori, 2006). Inilah yang dalam filsafat bahwa manusia sebagai makhluk yang beradab dan memiliki peradaban.
 
C.    Konsep Islam Mengenai Peradaban Manusia
Islam diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa bangsa arab yang semula terkebelakang, bodoh, tidak terkenal, dan di abaikan oleh bangsa- bangsa lain menjadi banngsa yang maju. Bangsa arab dengan cepat bergerak mengembangkan dunia, membina suatu kebudayaan dan peradaban yang sangat penting artinya dalam sejarah manusia hingga sekarang. Bahkan kemajuan wilayah barat bersumber dari peradaban Islam yang masuk ke Eropa melalui Spayol.
Gambaran Islam sebagai sebuah peradaban secara objektif terdiri dari aspek kebudayan materi (madaniyah) dan kebudayaan inmateri (tsaqafah). Peradaban Islam yang dibangun oleh kebudayan materi (madanyiah) yaitu hasil karya fisik yang disyariatkan maupun yang bersifat mubah, yaitu produk ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun kebudayaan inmateri (tsaqafah) yaitu berupa pemikiran yang berfondasikan aqidah dan syariah Islam yaitu aturan beribadah dengan sang pencipta, aturan pergaulan, ilmu ekonomi, pendidikan, aturan pemerintahan, kemiliteran, aturan hukum, hingga aturan berhubungan dengan luar negeri.
Peradaban menurut Islam adalah kesopanan, akhlak, tata krama dan sastra yang diatur dalam syariat Islam (Glasse dalam Sanaky). Al-Hujwiri menegaskan peradaban Islam adalah suatu pelajaran dan pendidikan tentang kebijakan yang merupakan bagian dari sendi-sendi keimanan. Al-Rozi (dalam Sanaky) menekankan peradaban Islam pada hubungan sosial. Hubungan sosial ini bagaiman kita bisa menjaga kehormatan dari dan menuruti sunnah Nabi. Secara umum peradan Islam diartikan sebagai bagian dari kebudayaan yang bertujuan untuk memudahkan dan mensejahterakan hidup di dunia dan akhirat.
Sebagaimana telah diinformasikan al-Qur’an dalam surah al-Hujurat ayat 13 “Wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal” memberikan kita pemahaman bahwa manusia berasal dari keturunan yang sama, yaitu Adam. Kemudian terpencar-pencar menjadi bersuku-suku dan berbangsa-bangsa dengan budaya yang beragam. Sehingga menghasilkan kehidupan yang indah (Mustofa).
Kehidupan yang indah itu menghasilkan peradaban yang indah pula. Sesungguhnya, kehidupan yang indah itu Allah berikan untuk manusia yang berperadaban. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 29 yang artinya “Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahuai segala sesuatu.
Pada ayat diatas disebutkan Allah memberikan fasilitas (yaitu bumi) untuk kehidupan manusia. Pembahasan sebelumnya dijelaskan bahwa peradaban bisa dibuat dengan cara saling ketergantungan antar entnis. Dalam Islam hubungan saling ketergantungan ini adalah perilaku tolong menolong dalam hal kebaikan. Allah berfirman “saling tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan janganlah kamu tolong menolong dalam keburukan.”
Tolong menolong merupakan ciri khas dari peradaban Islam. Rasulullah benar-benar mengaplikasikannya dalam keseharian. Islam menjadi teladan yang baik dicontohkan Rasulullah. Sebagai contoh, saat Rasulullah menyuapi wanita tua kafir yang buta nan miskin. Beliau tidak memandang latar belakang wanita tersebut. Lantas bagaimana dengan masyarakat yang melakukan kekerasan atas nama Islam. Hal ini melahirkan wacana yang paradoksal artinya bahwa Islam tidak hanya bersifat rahmatan lil ‘alamin, tetapi juga bencana karena melahirkan fenomena-fenomena kekerasan. Agama tidak pernah “mengizinkan” hal tersebut, hanya penganutnya lah yang justru membuat agama menjadi sadistis. Tentu, pernyataan ini justru merupakan apologi yang mengatakan agama tak bersalah, ummatnyalah yang menyalahgunakan agama itu sendiri untuk kepentingan pribadi/kelompok.
Apakah konsep peradaban dalam Islam hanya sebatas tolong menolong? Tidak. Sebagaimana dijelskan diatas, tolong menolong adalah salah satu dari komponen inmateri (tsaqafah). Komponen lain berupa materi (madaniyah) yaitu berupa produk ilmu pengetahuan. Misalnya Tsabit bin Qarah yang telah menemukan teori gravitasi jauh  sebelum Newton. Selain itu ada Ibnu Sina yang merupakan bapak kedokteran Islam. Ahmad al-Farghani dalam bidang astronomi, Jabir Ibnu Hayyan bidang Kimia, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun dan masih banyak lagi ilmuwan-ilmuwan besar Islam lainnya.
Unsur-unsur tindakan manusia, sebagaimana dapat disimpulkan dari sejarah umat dan ayat-ayat al-Qur’an, terdiri dari: kehendak bebas, kemampuan, dan pengetahuan. Tanpa kehendak bebas manusia tak dapat berbuat apa-apa, apalagi dalam fungsinya sebagai khalifah. Oleh sebab itu, unsur ini juga membedakan manusia dari makhluk lain. Malaikat tidak diangkat sebagai khalifah karena patuh sepenuhnya kepada perintah kepada Allah, dan tidak memiliki kehendak bebas. Namun kehendak bebas manusia bersifat terbatas. Seseorang, misalnya, tidak sanggup memilih ibu dan atau bapak yang akan melahirkannya. Kebebasan manusia dibatasi oleh kemampuan dan kodratnya, baik sebagai individu atau sebagai masyarakat.

D.    Membangun Peradaban Manusia Berdasarkan Nilai-Nilai Ke-Islam-an
Peradaban erat kaitannya dengan kebudayaan. Kebudayaan merupakan hasil cipta, karsa dan rasa manusia. Dalam Islam, peradaban yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW adalah peradaban yang dibangun di atas pijakan pandangan dunia agama bukan materi. Islam lebih mengedepankan nilai-nilai rohani dan kemanusiaan. Materi termasuk didalamnya teknologi bukan tujuan utama tetapi hanya aksidental. Keberhasilan menurut Islam tidak diukur dengan perolehan materi yang banyak tetapi diukur dengan pendekatan diri kepada Allah dan memperbanyak bekal untuk hari akhir. Materi sebagai materi tidak mempunyai nilai apapun di mata Islam. Materi akan berarti jika dimaknai dengan tujuan-tujuan akhirat.
Nabi Muhammad Saw. dengan peradaban yang berdasarkan nilai-nilai agama dan kemanusiaan berhasil mengalahkan dua kekuatan yang kuat yaitu Persia dan Romawi yang membangun peradaban dengan kekuatan materi. Meskipun pada perkembangan berikutnya para pemimpin Islam, khususnya khilafah Abbasiyyah, lebih fokus pada pembangunan materi bukan pengembangan nilai-nilai agama dan kemanusiaan.
Dalam bukunya, Agus Mustofa menyatakan bahwa Islam menyodorkan peradaban yang disebut peradan “hati nurani” (Mustofa). Peradaban tersebut dibangun atas dasar empati kepada orang lain tanpa melihat latar belakangnya. Peradaban yang dibangun atas dasar tolong menolong manusia lain agar lepas dari penderitaannya. Lebih jauh lagi bahwa manusia yang memiliki peradaban “hati nurani” adalah manusia yang bertaqwa.
Kapasitas taqwa disini tidak ada yang tahu karena bersifat abstrak. Namun, Allah memberikan gambaran tentang manusia yang bertakwa disini.
Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri mereka sendiri, mereka akan ingat Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS Ali Imran:135)
Manusia memiliki kemampuan untuk terus berkembang. Hal ini dibuktikan dari fakta empiris bahwa semakin banyak penemuan-penemuan yang diciptakan manusia. Kecenderugan untuk terus berkembang tersebut membuktikan manusia terus menuju peradaban yang paling sempurna. Hal ini sesuai dengan pandangan filsafat humanisme yang membagi dirinya menjadi dua arah, yaitu humanisme individu dan humanisme sosial. Humanisme individu mengutamakan kemerdekaan berpikir, mengemukakan pendapat, dan berbagai aktivitas yang kreatif. Kemampuan ini disalurkan melalui kesenian, kesusastraan, musik, teknologi, dan penguasaan tentang ilmu kealaman. Humanisme sosial mengutamakan pendidikan bagi masyarakat keseluruhan untuk kesejahteraan sosial dan perbaikan hubungan antarmanusia.
Sedangkan dalam Islam sendiri, kemampuan manusia tersebut karena manusia diberi potensi oleh Allah. Firman Allah:
و لقد كـرّمنا آدم و حملنــاهم فى البرِّ و البحر و رزقناهم من الطّيّبــاتِ و فضَّلناهم على كثييرٍ ممَّنْ خلقنـا تفضيلُا
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra:70)
Sebagaimana dalam filsafat, untuk mencapai tingkat aktualisasi diri yakni sebagai makhluk yang berperadaban, Islam juga mengharuskan umatnya berfikir. Perbedaannya dengan cara berfikir dalam filsafat adalah bahwa dalam Islam intervensi Tuhan sangatlah penting. Berfikir dengan menggunakan aqli tanpa mengesampingkan dalil naqli.
Banyak umat Islam yang menganggap Islam adalah sebuah doktrin keagamaan, sehingga memisahkan al-Qur’an (kitab pegangan umat Islam) dengan ilmu pengetahuan. Padahal ilmu pengetahuan bersifat relatif, berbeda dengan al-Qur’an yang bersifat kebenaran mutlak. Untuk mencapai tingkat pemikiran yang beriman dan ilmiah, seseorang haruslah menjadikan al-Qur’an sebagai pegangan. Bila ditinjau lagi, Harun Yahya adalah ilmuwan yang sukses meruntuhkan teori evolusi Darwin. Teori Harun Yahya ini berdasarkan fakta di al-Qur’an dan penelitian empiris. Sehingga untuk mencapai peradaban Islami, umat Islam seharusnya menjadikan al-Qur’an sebagai rujukan dalam berfikir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar